goenawan mohamad
Zarathustra tiba di tempat orang ramai berjual beli dan
ia pun berkata: Larilah, kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau
jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh
orang-orang kecil. Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu
bersamamu. Jika engkau seperti pohon kembali, pohon yang bercabang lebar
yang kau cintai: dengan tenang dan sepenuh hati ia menjulurkan dirinya
ke laut. Di mana kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana
pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau
kerumun lalat beracun.
Ketika Nietzsche menuliskan Also Sprach Zarathustra [1]
di tahun 1883, kita tidak tahu persis apa pasar baginya, atau
bagaimana ia membayangkannya. Tidakkah “pasar” adalah sebuah tempat di
mana kesendirian sebenarnya justru hadir: kebersamaan yang semu,
perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di permukaan, pertemuan
antara sejumlah penjual dengan sejumlah pembeli, yang masing-masing
pertama-tama hanya memikirkan bagaimana kebutuhan sendiri dipenuhi?
Model sebuah pasar adalah tempat di mana orang di dekat kita adalah
pesaing kita. la mendesak kita untuk berpacu. Kita ingin mengalahkannya
dan ia ingin mengalahkan kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang
salah, rakus bisa jadi bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah
sistem. Zarathustra ingin agar dari sini orang pergi ke kesendirian.
Tapi bukankah kesunyian satu hal, dan kesendirian adalah hal lain?
Barangkali kita memang harus, mula-mula, berbicara tentang pasar dan
kesendirian, atau sebaliknya: pasar dan kebersamaan. Barangkali kita
memang harus menilik, apakah kebersamaan di tengah para “aktor besar”
yang gaduh itu, di tengah berisik “lalat-lalat yang beracun” itu bisa
jadi kiasan untuk apa yang kita alami sekarang. Kita berada di akhir
abad ke-20. Kapitalisme sedang menang. Sosialisme, dengan pelbagai macam
variasinya, gempa. Dan seperti yang terjadi di dalam sejarah—dan ini
terjadi di mana-mana ketika ekonomi pasar berkuasa—apa yang
didefinisikan sebagai “kepentingan publik” pun jadi kurang mendapatkan
tempat. Kepentingan, interest, akhirnya jadi suatu ringkasan dari kata
“kepentingan diri”, yang bukan saja dianggap sebagai hal yang lumrah,
tapi juga dirayakan sebagai sesuatu yang tidak memalukan lagi. Manusia
telah bergerak dari posisinya sebagai warga suatu komunitas menjadi
seorang penjual dan/atau seorang pembeli.
Nietzsche, melalui Zarathustra, agaknya tidak hendak berbicara
tentang “pasar” dalam kaitannya dengan gambaran yang saya baru sebutkan.
Ia berbicara tentang “orang-orang kecil dan orang-orang yang patut
dikasihani”, yang jumlahnya banyak ibarat lalat penyengat racun. Ia
berbicara tentang pasar sebagai tempat “badut-badut yang khidmat”, di
mana hadir sang aktor, sang penyaji yang senantiasa dikelilingi orang
banyak, tokoh dengan keyakinan yang selalu berganti baru, “orang besar”
yang menganggap nihil kata-kata yang lirih:
Kebenaran yang hanya menyusup ke kuping yang peka ia
sebut dusta dan sesuatu yang bukan apa-apa. Sesunggguhnyalah, ia hanya
percaya kepada dewa-dewa yang berkoar di dunia!
Dengan kata lain, “pasar” adalah kegaduhan dan orang banyak, arena di
mana orang yang pandai berseni peran—sang “aktor”—menjadi amat penting.
Di tempat ramai ini individu pun terancam kelimun, “orang-orang kecil”
jadi pencemburu, tetangga kita menggerogoti kemandirian kita, dan dengan
antusias mereka menyibukkan kemegahan. Di sini, “kebenaran” adalah soal
singkat dan sederhana, soal ya dan tidak, pro atau anti, dan di
sekeliling kita orang-orang yang tak fleksibel, tegar, pun menekan.
Agaknya itulah gambaran Nietzsche tentang sebuah dunia tempat pikiran
serba sempit dan serba praktis, tetapi pongah, di mana kemandirian,
kreatifitas, penemuan nilai-nilai baru, terdesak dan tergusur. Pasar,
atau lebih tepat: lapangan pasar, telah jadi sebuah metafora tentang
kelimun yang menyesakkan. Tapi pada akhirnya, saya kira, ia juga bisa
melukiskan satu episode dalam proses embourgeoisement (atau,
jika kita bersedia meng-indonesia-kannya secara riskan, “pemborjuisan”)
dunia yang kini sedang terjadi. Dalam proses itu, kita menemukan
bagaimana tenaga agresif ke dunia, yang mengalahkan, membangun,
menghancurkan, bertaut dengan konformisme, sifat dari moralitas
“kawanan” yang disebut Nietzsche, yang tumbuh dari rasa cemas untuk
memperoleh, yang tekun berencana, yang menghitung, mengendalikan,
dikendalikan, mencari kepastian.
Kita saksikan apa yang terjadi di sekitar kita. Komunitas yang
beragam, yang bersifat lokal serta “intim”, telah atau tengah retak.
Kebersamaan manusia berubah, jadi massa. Kemudian ia jadi keru¬munan di
mana segala macam jual beli berlangsung. Itulah garis besar yang kita
alami di Indonesia: suatu masyarakat tradisional yang bergerak ke
sesuatu yang “modern”. Kita jadi sebuah bangsa, bersamaan dengan proses
pembentukan negara dan bergaungnya gerakan nasionalisme. Kemudian kita
pun jadi sebuah arena perdagangan yang seru, suatu “masyarakat ekonomi”.
Dengan kata lain: akhirnya juga sebuah pasar.
Pasar pada dasarnya adalah pusat di mana benda-benda disajikan,
ditawarkan. Pasar: pusat hal ihwal jadi komoditi, artinya jadi hadir
untuk dipertukarkan. Cabe kriting, tahu Sumedang, sepeda mini, mobil
BMW, buku komik, paket umrah, baju desain Donna Karan, ceramah
manajemen, dan entah apa lagi tersaji, masing-masing sebagai titik dari
baris skala yang sama, dan sebab itu boleh dibilang bisa saling bertukar
dengan yang lain. “Komoditi”, kata Marx, “memandang setiap komoditi
lain hanya sebagai bentuk penampilan dari nilainya sendiri”.
Analisa Marx di sini penting untuk ditengok. Banyak argumen yang
kemudian bertolak dari uraiannya—baik sebagai kritik ataupun bukan—untuk
menjelaskan apa yang kita alami kini, yakni pasar, juga untuk
menjelaskan apa yang hendak dikemukakan Nietzsche sendiri. Saya di sini
memang mengamini Terry Eagleton [2]: tidak sulit untuk
menjejaki kesejajaran umum tertentu antara paham materialisme historis
dan pikiran sang penulis Zarathustra. Khususnya, dalam hubungannya
dengan segi yang saya ingin kemukakan di sini, yakni sebuah usaha untuk
menjelaskan ketidakbebasan manusia dan seruan untuk emansipasinya.
Lahirnya komoditi adalah lahirnya apa yang disebut oleh Marx sebagai
“nilai tukar”. Dari sini mulainya runtuh beberapa jenis tambatan, dan
boleh dibilang juga dari sini pula bergeraknya peradaban. Tapi
berubahnya pelbagai hal (misalnya menikmati seks atau memanfaatkan
kekuatan santet) dari sesuatu yang tak diperjual-belikan jadi
komoditi—proses yang sering disebut sebagai “komodifikasi” itu—pada
gilirannya meletakkan manusia dalam pasar yang gemuruh, yang menyediakan
belenggu baru dan keterasingan.
Sejak awal, cerita komoditi mengandung sesuatu yang saling
bertentangan. Dalam dirinya, yang kongkrit pun nongol, tetapi juga yang
abstrak muncul. Seperti diuraikan Marx dalam Kapital, seonggok
kayu yang diubah jadi sebuah meja pada dasarnya tetap kayu juga, namun
ketika ia berubah jadi sebuah komoditi, “ia berubah jadi sesuatu yang
transenden”. Ia mendadak punya “sifat mistis”. Ia seakan-akan mempunyai
hidup yang lain, dan itu tak ada hubungannya dengan bagaimana ia berguna
bagi kebutuhan kita, bukan lantaran “nilai guna”-nya. Agaknya inilah
yang terjadi: sebuah komoditi tampil dengan bentuk, warna, aroma,
tekstur yang menggugah, merangsang indera, atau menggetarkan imajinasi,
tetapi pada saat yang sama ada momen penting ketika ia jadi abstrak—
momen yang menyebabkan dirinya bukan lagi sesuatu yang khas dan
tertentu, yang praktis tak dapat diulang-tiru, yang hubungannya dengan
kita bersifat sepenuhnya kualitatif, majemuk dan berbeda-beda. Itulah
momen ketika ia tidak dihadirkan, tidak diperbincangkan, dan tidak
dimanfaatkan dalam keunikan gunanya, yang masing-masing bisa bermacam
ragam, melainkan suatu momen abstraksi ketika ia telah direduksikan jadi
sederet ekuivalen.
Dalam proses itu, arti sebuah komoditi yang khusus bagi seseorang
tertentu di suatu saat (arti kemeja batik bagi X pada hari A, misalnya,
yang berbeda mungkin dengan arti kemeja batik bagi X pada hari B, atau
arti kemeja batik bagi Y yang berbeda dengan arti sebotol parfum bagi W
maupun Z) pun raib. Semuanya telah ditinjau,
diidentifikasikan—sebagaimana lazimnya setiap proses abstraksi— dalam
satu aspek mereka yang sama. Di momen itu “nilai tukar” pun lahir,
demikian juga apa yang ke¬mudian disehut sebagai harga. Lebih tajam
lagi: di pasar yang berperan adalah suatu “ekuivalen yang umum” yang
diterima secara sosial, yakni uang.
Tentu, ada yang didapat tapi ada yang hilang pula di sana. Sebab
dengan gemuruhnya komodifikasi, seakan-akan lenyap dan tak jadi kongkrit
lagi hubungan sosial antara pelbagai produsen: di pasar kita tidak
berpikir tentang hubungan antara si produsen sepeda mini dan si penyanyi
danngdut yang musiknya dikasetkan dan dijual di sudut itu. Di pasar,
seakan-akan yang berhubungan adalah antar komoditi itu sendiri. Sesuatu
yang memang bisa disebut sebagai “fetisisme” pun tumbuh dan berkembang.
Di pasar, sesuatu yang diciptakan manusia akhirnya jadi sesuatu yang
seakan-akan herada di luar, bahkan menguasai, manusia. Komoditi, kata
Marx, memang “sesuatu yang misterius”.
Pasifkah manusia (saya, anda, kita) di sana? Ataukah aktif?
Pasifnya manusia di pasar, tenggelamnya ia ke dalam kancah yang tidak
menyebabkannya menentukan dirinya sendiri, telah jadi sumber telaah
yang panjang setelah Nietszsche dan Marx. Pokok ini penting juga kita
tinjau, di zaman kita ini, tatkala kita dikerumuni benda-benda dan
begitu banyak tempat bercermin.
Salah satu kritik yang dilontarkan ke arah pemikiran Marx ialah bahwa
ia begitu banyak bicara tentang sang produsen (pemilik modal, buruh)
dan terlampau sedikit bicara tentang sang konsumen. Barangkali karena
Marx menuliskan ide-idenya 125 tahun yang lalu, sebelum apa yang disebut
sebagai “masyarakat konsumsi” hadir seraya mengambil bagian terbesar
perhatian kita di pelbagai sudut: di pertemuan keluarga, di tempat
kerja, di resepsi, di layar televisi, di radio, di pagina koran, di
dinding bis, di etalase, bahkan di kakus. Kini tendensi yang disebut
oleh Veblen sebagai ciri leisure class (bisa diterjemahkan
sebagai “kelas yang asyik”, barangkali: lapisan masyarakat yang punya
banyak uang dan waktu luang dan menikmati keduanya dengan layak),
berkecamuk meluas: tendensi berbelanja pelbagai hal dan barang dan
lambang status secara mencolok. Kini bahkan di Indonesia kita bisa
berbicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai
“dua penemuan manusia yang paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu”:
iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan. Yang pertama tak
putus-putusnya menggoda dan kemudian mengubah, di kepala kita, keinginan
jadi keperluan. Yang kedua memungkinkan orang banyak memperoleh
benda-benda yang tak terjangkau dengan gampang, dengan mencicil dan
mengangsur, dengan kartu kredit atau ilusi “mudah-dapat” yang lain.
Bell, dalam analisa yang terbit di tahun 1960 itu, berbicara tentang
konsumen di Amerika. Kini tentu saja pernyataannya bisa berlaku bagi
pasar yang lain, untuk menunjukkan bagaimana pasifnya manusia di kancah
benda-benda itu. “Tidak ada makhluk dalam sejarah yang lebih seperti
kerbau dicocok hidungnya ketimbang konsumen Amerika, dan sifat penurut
ini mendorongnya untuk membeli.” [3]
Kurang-lebih satu dasawarsa kemudian datang Baudrillard: juga satu
suara yang menegaskan, dalam jaman konsumsi kini, bahwa manusia—atau
lebih baik subyek —telah direduksikan jadi kebutuhan yang secara sosial
terbentuk. Ia menjelaskan perilaku konsumsi di masyarakat bukan dengan
membahas “nilai guna” ataupun “nilai tukar”, seperti yang diajukan oleh
para Marxis, melainkan dengan berbicara tentang “nilai tanda”. Bagi
Baudrillard (kita berbicara terutama tentang kumpulan tulisannya Pour une critique de l’ëconomie politique de signe, yang terbit di tahun 1972) [4],
yang merupakan dorongan konsumsi bukanlah terutama kenikmatan atau
kegunaan, melainkan keinginan untuk mengambil dan memamerkan “nilai
tanda”. Nilai tanda terbit melalui penataan secara hierarkis pelbagai
komoditi: merk atau bentuk mobil tertentu, label atau wanginya parfum
tertentu, memperoleh martabat yang berbeda melalui penandaan derajat,
kedudukan dan status sosial dari para pemilik atau para konsumennya.
Dengan kata nilai tanda itu tumbuh dari perbedaan dan tingkat-tingkatan,
dan dilahirkan oleh sejenis “adat” yang mengatur belanja dan prestise
sosial kita. Komoditi, menurut Baudrillard, terutama bukanlah tempat
pemuasan kebutuhan, sebagai yang dinyatakan oleh ekonomi politik yang
klasik, melainkan “menyatakan makna dan prestise sosial”. Kapitalisme
menegakkan dominasi sosial dengan menjejalkan suatu sistem nilai tanda,
dan dengan itulah orang seorang diletakkan dalam masyarakat konsumsi dan
di sana menyerah kepada dominasinya: ia menyerah dengan melakukan apa
yang diharapkan dari dirinya, yakni mengkonsumsi.
Pasar, di sini, adalah sebuah penaklukan. Maka barangkali bisa
dimengerti bahwa di balik kegaduhan tempat itu, yang tampil—seperti
dikatakan Zarathustra—adalah “orang-orang kecil” yang “patut
dikasihani”, di mana hanya aktor yang disambut: sang aktor yang “esok
akan punya sebuah keyakinan baru dan lusanya sebuah keyakinan yang lebih
baru lagi”.
Tapi benarkah, di pasar, manusia jadi begitu rendah, hanya subyek
yang begitu lembek, yang dipermainkan oleh pemujaan kepada “yang baru”,
(karena usaha tak boleh stagnan, dan bisnis, dalam siklusnya, harus
tidak boleh dibiarkan terjerumus turun, dan sebab itu terus menerus sang
pedagang pun melancarkan inovasi), atau oleh fetisisme komoditi pada
umumnya? Dengan kata lain: subyek yang tak bisa membebaskan diri? Dalam
kenyataan, memang kapitalisme menjinakkan. Abad ke-20 adalah abad yang
semula menyaksikan kemenangan gerakan Leninis di pelbagai tempat tetapi
yang akhirnya menunjukkan bagaimana ekonomi pasar berhasil terus menerus
mempermajal ketajaman perlawanan terhadap dirinya. Betapapun juga,
Baudrillard cenderung berlebih-lebihan jika ia memaparkan subyek hanya
sebagai sesuatu yang dibentuk oleh struktur (dari segi ini, Marx juga
berlebih-lebihan) yang kukuh mengungkung. Justru kekuatan pasar terletak
dalam sifatnya yang tidak seperti perangkap yang pejal, ibarat granit.
Pasar adalah sesuatu yang cair, arus yang tak tentu bentuk, luwes, dan
di kancahnya ternyata tidak semua manusia hanya jadi pak turut jadi
komoditi, ia juga mengendalikannya, atau bisa melawan dan mencari
alternatif. Atau ia sebenarnya, sebagai konsumen, ibarat sphinx, (untuk
meminjam dari Michel de Certeau): sesuatu yang nampaknya pasif namun
menampilkan teka-teki. Antara lain justru karena itu pasar senantiasa
dirundung ketidakpastian.
Di dalam ketidakpastian itu memang sering berkecamuk rasa cemas
borjuis: rasa cemas Droogstoppel, “Si Kersang Hati” dalam Max Havelaar;
makelar kopi yang benci imajinasi bila imajinasi menghasilkan cerita
yang bukan-bukan, saudagar yang takut kepada segala hal yang tidak
lazim, apalagi yang bisa dianggap cabul dan berlebihan, seorang hemat
yang menjelaskan bahwa seorang makelar kopi jadi kaya karena “hati-hati
dalam perdagangan”. Weber akan menyebut Droogstoppel sebagai contoh
“etika Protestan”, tetapi mungkin sebenarnya ia hanya seonggok rasa
cemas untuk mendapat, rasa cemas kehilangan, rasa cemas untuk mampu
mengontrol, rasa cemas untuk dapat memperhitungkan.
Ia memang menang di zaman ini, dengan segala manifestasinya.
Pertanyaannya kemudian, adakah subyek bisa bebas dan manusia bisa utuh
sebagai manusia. Marx jelas mengatakan tidak: bukan buruh saja yang jadi
rudin ketika kapitalisme merajai hidup, tetapi juga sang pemodal
sendiri kehilangan kesadaran akan tubuh, bahkan dirinya, karena semuanya
praktis telah digantikan dengan kesadaran ala Droogstoppel, di mana
“punya” lebih penting ketimbang “hidup”. Akhirnya juga sang pemodal
seperti surut, dan modallah yang berjalan, bekerja, menentukan—satu hal
yang kita kenal sebagai ciri dari alienasi. Bagi Marx, pembebasan
manusia hanya bisa terjadi jika—dengan gerak bersama secara global—milik
pribadi dilenyapkan dan produksi cara sosialis dibangun, dengan hasil
yang lebih berlimpah, hingga manusia pun dapat mengembangkan seluruh
dirinya, termasuk tubuh dan jiwanya, dalam kerja dan konsumsi yang
merdeka, tak terikat oleh kapital. Utopia Marx tidak kunjung kita lihat,
kecuali mungkin secara terbatas, di sebuah komune seperti kibbutz di
Israel. Di luar itu, produksi dan konsumsi agaknya terus bisa bergerak
maju, dan bertambah maju, dalam kaitannya dengan hak milik
pribadi—termasuk dengan kerakusan dan penderitaan. Maka di manakah
pembebasan itu?
Barangkali tiba saatnya kita dengarkan Nietzsche. Gilles Deleuze,
dalam suatu esei yang agak terlalu bersemangat, membedakan Nietzsche
dengan Marxisme dan Freudianisme. “Marxisme dan psikoanalisis dalam arti
tertentu membentuk birokrasi fundamental—yang satu bersifat publik,
yang lain bersifat privat—yang bertujuan merekodifikasi, dengan satu dan
lain cara, apa yang secara tak henti¬hentinya menjadi terlepas dari
kode di cakrawala kebudayaan kita. Sebaliknya, apa yang jadi perhatian
Nietzsche sama sekali bukan itu. Tugasnya terletak di tempat lain:
mengatasi semua kode masa lalu, masa kini dan masa depan, untuk
mentransmisikan sesuatu yang tidak dan tidak akan membiarkan dirinya
dikodifikasikan”.
Bagi Deleuze, kodifikasi itu merentang ke segala penjuru kehidupan,
dalam bentuk hukum, kontrak, institusi. Ia tentu saja berbicara tentang
masyarakat Eropa. “Berhadapan dengan cara bagaimana masyarakat kita
secara berangsur-angsur mengalami dekodifikasi dan lepas dari regulasi
dan kode-kode kita pun berantakan di tiap sudut, hanya Nietzsche pemikir
yang tak mencoba untuk ke arah rekodifikasi”, tulisnya. Nietzsche
sebagai suara pembebasan—bahkan sebagai suara yang menerima khaos bagian
penting dari hidup—memang nampaknya merupakan tema penafsiran tentang
penulis Zarathustra ini semenjak dua dasawarsa yang lalu. Bukannya
sesuatu yang tanpa sejarah. Pada dasarnya yang menyebabkan Nietzsche
begitu menggebrak dan menghentak ialah manusia yang sosoknya adalah,
untuk memakai kata-kata Maurice Blanchot, “borjuis di akhir abad ke-19”:
manusia dengan “tujuan kecil, kepastian kecil, keji dan tak memadai”.
Agaknya itulah yang digambarkan Zarathustra di pasar: “orang-orang
kecil”, “lalat-lalat beracun”.
Eagleton, seorang Marxis, mencoba menjelaskan lebih jauh apa
sebenarnya yang disaksikan Nietzsche dengan panjang yang merendahkan itu
(suatu hal yang saya kira akan dibaca di Indonesia seakan-akan dengan
melihat ke cermin). Yang disaksikan Nietzsche adalah kelas menengah
Jerman yang tak bergerak, kelas menengah yang umumnya puas untuk
mendapatkan pengaruh dalam rezim otokratis Bismarck dan tak ingin
menampilkan suatu tantangan politik yang berarti. Inilah borjuasi yang
melepaskan “peran revolusionernya dalam sejarah”, kata Eagleton, kelas
yang kuat tapi memilih jinak untuk meneruskan keuntungan kapitalisme
yang dipasang dari atas oleh negara proteksionistis ala Bismarck. Negara
ini pula yang menyediakan perlindungan terhadap apa yang kemudian
secara cepat jadi partai sosialis terbesar di dunia.
Di bawah masyarakat ekonomi pasar yang lebih lanjut, Bismarck dan
struktur pemerintahannya memang tidak ada lagi. Kaum modal dan
wiraswasta telah menghadirkan kota-kota besar, prestasi teknologi yang
gemilang, kekayaan dan daya produksi yang ampuh, yang bahkan mengesankan
para penyusun Manifesto Komunis. Namun nampaknya tak banyak yang
berubah dalam tema “kami-tak-betah” di dalam masyarakat yang ditata dan
diarahkan menurut pengharapan borjuis. Memang hidup (dan nafkah) stabil
dan pada umumnya mencukupi. Tetapi manusia—dan terutama manusia yang
mengharap bukan saja harkat tapi juga berkat, sosok yang menginginkan
pastinya kebahagiaan dunia dan keselamatan di akhirat—telah jadi
konformis yang hidup di tiap sudut. Persaingan memang dipacu, tapi di
lain sisi seluruh energi digiring ke satu fokus: akumulasi hasil.
Kesatu-fokusan itu akhirnya dirasakan hanya menghadirkan serumpun
“kawanan”, sehimpun eksemplar manusia yang datar. Pribadi-pribadi yang
kuat—para entrepreneur, para usahawan dan pemimpin politik—akhirnya
lebih mirip pemburu yang berani mempertaruhkan risiko dalam sebuah rimba
yang telah jadi kebun binatang.
Dalam arti tertentu, gairah hidup dan kemerdekaan pudar. “Orang yang
telah jadi merdeka…tak akan sudi menerima jenis, kesejahteraan yang
nista yang dimimpikan oleh para pemilik toko, orang Nasrani, sapi-sapi,
perempuan, bangsa Inggris dan demokrat-demokrat yang lain”, tulis
Nitezsche dalam Gotzen-Dammerung di tahun 1889. Gemanya masih
hingga kini, sementara berkecamuk rasa kecewa terhadap alternatif yang
ditawarkan oleh Marxisme. Sebab sosialisme, di bawah penerapan Lenin,
telah membangun institusi—partai dan negara—dan itu artinya sebuah
kodifikasi lagi, dalam bentuk yang oleh Deleuze disebut sebagai
“birokrasi fundamental” yang “publik”.
Maka Nietzsche pun seakan-akan dilahirkan kembali. Sebuah antologi yang diberi judul The New Nietzsche[5]
dan nampaknya berpengaruh (cetakan keenamnya terbit di tahun 1994)
menampilkan sejumlah tulisan yang pada umumnya menokohkan sang pemikir
sebagai suatu suara antitesis dan alternatif terhadap sebuah kehidupan
yang hanya bergerak antara keadaan menguasai dan dikuasai kini—kehidupan
yang hanya berdimik-dimik dengan kategori, konsep, angka, perhitungan
guna, rencana untuk lebih efisien dan efektif dan sejenisnya itu. Untuk
meminjam kata-kata Deleuze lagi, semenjak 20 tahun yang lalu, Nietzsche
telah menjadi suara dari counterculture.
Tapi apa yang ditawarkannya? Dalam Zur Genealogie der Moral (terbit
1887), ia menyebut akan datangnya “manusia masa depan”, yang akan
“menebus kita dari ideal yang berkuasa sampai sekarang” (ideal, dalam
arti asas, konsepsi atau tujuan tentang apa yang sempurna dan layak
untuk diudi), yakni ideal yang pada dasarnya memandang hidup,
kenikmatan, khaos, keragaman dan avonturnya, sebagai sesuatu yang harus
dijauhi, bahkan ditampik, karena layak dicurigai sebagai sesuatu yang
menyesatkan. Bagi ideal ini, semua yang ada di dalam hidup itu—semuanya
yang fana—tak bisa dijadikan pegangan. Maka ideal “asketik” atau “zahid”
ini pun mengutamakan sikap menahan diri dari gairah hidup, seperti yang
kita dapatkan terutama dalam tema Budhisme, dalam ajaran para padri dan
rohaniawan. Bagi ideal ini, hidup tak punya harga dalam dirinya
sendiri. Tapi tidak berarti manusia harus jatuh ke dalam “nihilisme yang
bunuh diri”. Sebab, sabda para padri, nun di balik sana dari dunia yang
sekarang—jika kita bisa menahan diri dengan sempurna—kelak akan ada
nirwana atau surga. Hidup punya arti, lantaran ada sebuah “kelak” yang
seperti itu.
Tapi bagi Nietzsche, ideal “asketik” hanya mengandung dendam, mungkin
benci. Sebab itu “manusia masa depan”-nya akan menebus kita dari ressentiment
itu: ia akan datang ibarat “dentingan genta yang menandai siang dan
keputusan besar yang akan membebaskan kehendak kembali, memulihkan
tujuannya ke bumi dan mengembalikan harapan dirinya kepada manusia”.
Nietzsche menyebut “manusia masa depan” itu sekaligus “antikristus” dan
“antinihilis”, “pemenang atas Tuhan dan atas ketiadaan”. Sebab seraya ia
melawan nihilisme dengan mengukuhkan kata “ya” kepada hidup, ia—berbeda
dengan para rohaniawan yang mencurigai hidup duniawi —membuktikan bahwa
ada satu nilai di dalamnya. Bukan nihil.
Saya melihat bahwa sang “manusia masa depan” bukan saja merupakan
penebus bagi ideal “asketik”. Ia juga akan merupakan penggugat seorang
Droogstoppel. Sebab ideal “asketik” dan pandangan dunia ala Droogstoppel
punya “eskatologi”-nya yang mirip: keduanya menjauhi segala yang
bergairah dan “berlebihan”, dan keduanya berhati-hati dalam hidup
sekarang untuk memperoleh sesuatu yang lebih di masa depan. Keduanya
semacam menabung dan melakukan investasi, dan memandang perilaku kini
sebagai sesuatu yang bisa dipertukarkan dengan pahala masa nanti. Di
hadapan keduanya, berdiri Zarathustra.
Nietzsche menghadirkan Zarathustra sebagai sebuah ideal tandingan.
Zarathustra mengajarkan Ubermensch. Seperti dikatakannya, “Aku ajarkan
Manusia Utama kepadamu”.
Apakah dan siapakah gerangan Manusia Utama itu? St. Sunardi, dalam
telaah pengantar yang berhasil dengan terang menggambarkan pikiran
Nietzsche [6], lebih suka tetap menggunakan kata asli Jerman, Ubermensch,
untuk pengertian itu. Saya menggunakan kata “utama” hanya sekedar untuk
mengenakkan lafal. Baiklah kita ikuti tafsir Sunardi: Ubermensch bagi
Nietzsche bukanlah “transendensi baru”, melainkan berdasarkan potensi
dan kemungkinan yang dimiliki setiap orang; ia “begitu dekat dengan
manusia dan setiap saat dapat direalisasikan”; ia bukan pula merupakan
suatu tingkat perkembangan yang “berada jauh di depan yang hanya
ditentukan secara rasional”, melainkan makna dari dunia ini.
Nietzsche sendiri tidak begitu persis mengungkapkannya. Zarathustra
pernah sekali bicara tentang perlunya “menghancurkan, menurut citra sang
Manusia Utama, semua citramu tentang manusia” suatu sikap penolakan. Ia
juga mengatakan, dalam prolog, “Sesunguhnyalah, manusia itu sebatang
sungai yang tercemar”, dan “orang harus jadi sehamparan laut, untuk
menerima sebatang sungai yang tercemar tanpa ia sendiri jadi najis”. Dan
sang Ubermensch itulah laut yang seperti itu.
Tidakkah di sini “ajaran” tentang Ubermensch justru menunjukkan pola
yang sama dengan pandangan hidup zahid: bahwa hidup di dunia kini hanya
berarti karena jadi perantara ke arah sesuatu yang lain yang justru
menafikannya? Dan tidakkah Zarathustra masih belum sepenuhnya bebas dari
hasrat “pembalasan dendam” kepada hidup, dan itu adalah sebuah gejala
kronofobia, penampikan kepada waktu? Atau, untuk memakai kata-kata
Heidegger, belum sanggup berkata “ya” kepada segala yang tidak kekal dan
tidak mutlak?
Barangkali tidak sepenuhnya demikian. Ubermensch, kata Nietzsche,
adalah “suatu ikhtiar ke sesuatu yang tidak lagi manusia”. Suatu
“ikhtiar”: yang inti di sini adalah adanya proses. Sunardi menunjukkan
itu: “Manusia adalah makhluk yang tak henti-hentinya menyeberang: dari
binatang menuju Ubermensch” [7]. Dalam Also Sprach Zarathustra juga
dikatakan: “Manusia itu seutas tali, yang ditambatkan antara hewan dan
manusia utama—seutas tali di atas jurang”. Zarathustra juga menambahkan:
“Apa yang besar pada diri manusia ialah bahwa ia sebatang titian, dan
bukan suatu tujuan; apa yang bisa dicintai dalam diri manusia ialah
bahwa ia jalan melintas dan jalan menurun”.
Manusia, dengan demikian, sebagai Obergang dan Ontergang,
memang bukan sesuatu yang final; filsafat Jawa mempunyai kata yang
cukup kena untuk menggambarkan itu: manusia, makhluk, sebagai dumadi
(ada sisipan “um” dalam kata “dadi”: ada sesuatu yang “bergerak” dalam
kata yang berarti “jadi”). Dalam proses dan perubahan itu, dalam
ketidak-kekalan itu, hidup diterima dengan segala kegairahan dan
kepedihannya. Nietzsche menyerukan amor fati. Ideal Ubermensch
dalam hal itu bisa dilihat bukan sebagai negasi kepada hidup. Ia suar di
kaki langit. Manusia menuju ke sana. Mungkin tak kunjung tiba, tapi
perjalanan itu sendiri memberikan arti.
Dengan itu ia akan bersedia masuk ke dalam hidup dan perulangannya
yang kekal. Jika pada suatu malam ada jin yang datang ke dalam kesunyian
kita yang paling hening dan berkata, bahwa hidup kita sebagaimana yang
kita jalani ini akan berulang berkali-kali tak putus-putusnya, kekal,
kita pun akan menerima berita itu sebagai sesuatu yang penuh berkah.
Kita bisa saja tetap menginginkan agar hal-hal yang merusak hidup tak
ikut berulang kelak, tapi bukan itu inti soalnya. Inti soalnya ialah
bersyukur, untuk bisa berada di sebuah momen “rasa bahagia seorang
Tuhan”, sebuah momen yang penuh “kuasa dan kasih”. Di situlah kita
mendapatkan diri kita ada bersama di dalam, (dan jadi bagian dari),
semesta sejarah yang maha panjang, kemanusiaan yang tak bertepi:
Ia, yang tahu bagaimana memandang sejarah manusia
dalam keseluruhannya sebagai sejarahnya sendiri, merasakan, melalui
pemikiran yang merangkum luas, seluruh duka si cacat yang berpikir
tentang sehat tubuh, si tua yang berpikir tentang impian masa muda, si
pencinta yang direnggutkan dari kekasih, si martin yang cita-citanya
hancur, si pahlawan di malam menjelang perang yang tak pasti bagaimana
akan berakhir—perang yang telah melukainya dan membunuh sahabatnya. Tapi
untuk menanggungkan segala duka besar ini, untuk mampu
menanggungkannya, dan tetap menjadi sang pahlawan yang, pada awal
peperangan di hari kedua, menyambut fajar dan rasa bahagia sebagai
seseorang yang mengeram cakrawala dari abad-abad sebelum dan sesudah
dirinya, sebagai pewaris dari semesta kebangsawanan, semesta kecerdasan…
untuk mengemban semua itu di dalam sukmanya, yang paling purba, yang
paling baru, kekalahan, harapan, penaklukan dan kemenangan umat manusia:
untuk menyimpan ini semua akhimya dalam satu sukma, dan meringkasnya
dalam satu rasa—ini niscaya akan membubuhkan satu rasa bahagia yang
selama ini tak dikenal manusia—rasa bahagia seorang Tuhan, penuh dengan
kuasa dan kasih, penuh dengan tangis dan tawa, satu rasa bahagia yang,
bagaikan matahari menjelang malam, terus-menerus memberikan kekayaannya
yang tak tepermanai seraya mengosongkan diri ke dalam laut dan seperti
sang matahari pula, merasa dirinya tiba di puncak paling kaya bila si
nelayan yang paling miskin pun nampak mengayuh jukung dengan dayung
keemasan!
Metafora Nietzsche dalam satu bagian yang indah dari Die Frohliche Wissenschaft itu
adalah pahlawan dan matahari. Di sana Nietzsche tak bertempik-sorak
untuk orang macam makelar kopi yang dicemooh Max Havelaar. Mungkin orang
macam itu termasuk yang oleh Zarathustra disebut sebagai “manusia
tertuntas” yang datang ketika “bintang tak dilahirkan lagi”. Manusia
macam ini bertanya sambil mengerdip, apa itu cinta, apa itu ciptaan, apa
itu rindu, dan apa itu bintang. Ia jenis manusia yang membuat segalanya
kecil; ia merasa menemukan bahagia dan kesejahteraan dalam hidup yang
nyaman, di mana “setiap orang menginginkan hal yang sama, setiap orang
sama, dan yang berpikir lain akan pergi sukarela ke rumah sakit jiwa”.
Orang macam ini menolak untuk merangkum dan menempuh. Ia hanya “diri”
yang definitif, titik tunggal, dari mana segala berangkat dan ke mana
segala menuju: tidak mengalir, tidak membuka, tidak merasa berlebih,
tidak memberi, tidak inklusif, untuk segala yang lain. Yang “tak sama”,
yang “lain” yang “bukan-diri” hanya tersedia untuk dijadikan bagian dari
“diri”: dalam arti tertentu, ditiadakan, ditaklukkan.
Berbeda dengan si “orang kecil”, maka seseorang yang “memandang
sejarah manusia dalam keseluruhan sebagai sejarahnya sendiri” tidak
bertolak dan berhenti pada dirinya. Seperti sang surya, ia memberi
sepenuhnya: ia memperkaya yang lain. “Dalam keadaan ini”, tulis
Nietzsche dalam Gotzen-Damerung, “orang memperkaya segalanya
dari kepenuhan dirinya sendiri: apapun yang ia lihat, apapun yang ia
kehendaki, terlihat kembang, kencang, kuat, dengan tenaga yang
melimpah-limpah.”
Itu semua bisa terjadi—menurut Nietzsche—jika kita bertaut kembali
dengan kekuatan yang kita sebut yakni suatu tenaga, suatu daya, yang
menumbuhkan kita dan menggerakkan sejarah: apa yang oleh Nietzsche
sering hanya disebut sebagai “sang kehendak”—kependekan dari der Wille zur Macht, kehendak-untuk-kuasa.[8]
Saya barangkali bisa menganalogikan kehendak itu dengan libido
Freudian, namun barangkali tidak sepenuhnya tepat. Betapapun, ketika
Nietzsche mengatakan bahwa hidup adalah der Wille zur Macht,
yang terkesan dari pasangan kata itu adalah tenaga yang mungkin tak bisa
diartikan sebagai sesuatu yang psikis maupun yang fisik, tetapi yang
menjelaskan kenapa dalam kehidupan ada gairah, nafsu, keberanian,
syukur, rasa bahagia, belas kasih, pengetahuan, bahkan sikap zuhud dan
pelbagai fenomen di dalam dan di luar alam manusia. Hidup hanyalah satu
kasus yang istimewa dari kehendak-untuk-kuasa, kata Nietzsche: dengan
itu kita memba¬yangkan, di balik benda dan bentuk, di dalam diri kita,
ada suatu dorongan yang “menitahkan”, ada hasrat yang memotivasi,
mendesak, merengkuh, menumbuhkan daya untuk menambah kekuatan atau
kuasa—yang menyebabkan makhluk (dalam arti luas, dalam arti being, segala yang ada) mengubah, memperkukuh dan memperluas menjangkau ke luar, menggebu ke atas dan ke segala arah.
Para penafsir Nietzsche berdebat adakah “doktrin” tentang
kehendak-untuk-kuasa itu suatu doktrin kosmologis atau bukan, suatu
teori a priori atau suatu pengertian empiris yang datang dari proses
penyimpulan dari pengalaman, atau jangan-jangan ia semacam penjelasan
psikologis semata yang kemudian oleh Nietzsche dikenakan ke pelbagai
hal. Yang ingin saya masalahkan tentu saja bukan itu di sini, melainkan
adakah dengan semangat yang tersirat di sana Nietzsche menawarkan
sesuatu yang lebih bisa meyakinkan tentang manusia dan emansipasinya.
Kehendak, tulis Nietzsche dalam Jenseits von Gut rind Bose,
adalah “sesuatu yang kompleks yang kita hanya punya satu kata untuk
menamakannya”. Dalam hubungan inilah agaknya Alphonso Lingis, (dalam
suatu interpretasi yang sarat dengan argumen post-strukturalis),
mengatakan bahwa kehendak-untuk-kuasa itu bukan tenaga yang esa,
melainkan “beda yang asali” (original difference). Beda,
keragaman, pluralitas, berkecamuk di dalamnya, dan semuanya sesungguhnya
tak bisa diidentifikasi, tak bisa diberi identitas. Identifikasi
hanyalah pemberian sebuah sebutan, sebuah tanda, bagi yang aneka ragam
dan senantiasa berubah. Maka menganggap mereka sebagai sesuatu yang
“tunggal” sama dengan menghadirkan sesuatu yang fiktif: menyesatkan.
Kehendak-untuk-kuasa, sebagai suatu daya yang primal, mengembalikan kita
ke dalam impetus kejamakan dan keanekaragaman. Dalam impetus
itu, kehendak-untuk-kuasa, menurut Lingis, tidak merangkum-rengkuh “yang
lain”, tidak mengasimilasikan dan tidak pula meringkus-telan yang beda,
yang bukan-dirinya. Kita, subyek, dengan demikian membebas-biarkan yang
berbeda, yang bukan-kita.
Lagi pula adakah subyek, sebenarnya? Apakah ego? Sesuatu yang begitu
meyakinkan, kukuh, sehingga jadi pusat, sumber, bahkan dasar, dari mana
segala datang dan ke mana segala pergi? Descartes meragukan apa saja di
luar ego, tapi, bagi Nietzsche, ego dalam perenungan Descartes
sebenarnya dimulai sebagai hasil salah kaprah tatabahasa, (yang
menyebabkan kita menganggap ada subyek yang utuh sebelum dan sesudah
proses berfikir). Lalu kita pun menyimpulkan bahwa ada ego yang otonom
dan lebih luhur dan lebih awal dari dunia, dari tubuh, dari bumi, tak
bertautan dengan konteks sejarah.
Zarathustra sebaliknya bicara tentang ego yang lain, ego (dengan
segala “kontradiksi dan kemelutnya”) yang semakin menemukan “banyak
gelar dan kehormatan bagi badan dan bumi”. Ego ala Descartes, yang
dianggap terpisah jauh dari badan dan bumi, adalah pengganti Tuhan yang
monoteistis. Nietzsche, dalam Zarathustra, lebih suka menyebutnya
sebagai “Did”, “panglima yang akbar”, yang “membanding, menjinakkan,
menaklukkan, menghancurkan” dan akhirnya ia sendiri ingin “berpaling dan
hidup”, mati. Bagi Zarathustra Tuhan memang mati—juga segala sumber
awal dan tujuan akhir yang metafisik—dan tentu saja juga dewa-dewa lama,
yang mati ketawa waktu mendengar salah satu dari mereka yang pencemburu
mengklaim dirinya sebagai satu-satunya tuhan. Singkat kata, tidak ada
ego transendental, yang senantiasa identik dengan dirinya sendiri, inti
yang tak tersentuh ruang dan waktu, dasar dan sumber yang tunggal. Yang
ada adalah kenyataan bahwa yang dinamakan “subyek” hanyalah “entitas
yang diciptakan, hasil pemberian dari makna”, untuk mengutip Sunardi.
Sebenarnya itu pulalah yang disebut sebagai “kesadaran”. Menurut
Nietzsche, kesadaran ada karena (atau sebagai sesuatu yang) dirumuskan
“di bawah desakan perlunya komunikasi”. Kebutuhan akan komunikasi
memerlukan “sesuatu yang mantap, yang dibuat sederhana, bisa diukur
persis”. Dengan demikian dunia yang disadari adalah “dunia yang dibuat
sama untuk siapa saja”, “hanya sebuah permukaan-permukaan”, dan “lebih
kikir”. Lebih kikir, karena tiap saat sebenarnya kita berpikir terus
menerus tanpa kita sadari, namun hanya bagian yang paling permukaan dari
pemikiran itu saja yang masuk ke kesadaran. Bahan-bahan yang disediakan
pancaindera, “direduksikan hingga jadi garis besar yang kasar, dibuat
sama”. Dibawa dan dikemas oleh kesadaran dan untuk kesadaran, sifat
kabur dan kacau dari kesan-kesan yang diterima lewat penginderaan pun
ditertibkan, dikendalikan, diamankan. Maka jadilah konsep, dan semua
mengikuti logika, menuruti sistem—dan tidak lagi hidup dalam khaos dan
dalam spontanitas pradiskursif (“pra-telaah”), tak lagi hidup dalam
galau dan gairah primal.
Lalu, manakah yang hendak kita akui sebagai yang benar: hidup dengan
kesadaran, sebagai kekuatan yang menjaga ketertiban dan keamanan dunia?
Ataukah hidup dengan khaos?
Kita bisa baca pendirian Zarathustra yang jelas: kekacauan, khaos,
bukanlah laknat. Khaos mengerikan, ia berbahaya, tapi hidup memang harus
tak jirih menempuh bahaya. “Inilah kata-kataku padamu”, ujarnya, “orang
harus mengandung khaos dalam dirinya, untuk melahirkan Sebentuk bintang
yang menari”.
Sebentuk bintang yang menari: sebuah ilusi, juga topeng dari sebuah
planit yang jauh; sesuatu yang indah, unik dan terang dalam sikap anggun
Apollo, sekaligus juga gerak, dalam ritme yang intens, sesuatu yang
mabuk kepayang dalam ekstase Dionysius. Sebentuk bintang yang menari
adalah sejumlah suasana yang berganti-ganti, timbul-tenggelam, enak dan
edan, progresi yang tanpa merancang awal dan akhir, dinamika yang tanpa
membidik tujuan dan bertanya untuk apa.
Kata “menari” dan “tari” memang memberikan imaji yang positif di
banyak bagian Zarathustra. Zarathustra sendiri menyebut dirinya seorang
penari. Mungkin sebab dalam tari ada tubuh, tenaga, sensualitas,
kelenturan yang juga kekuatan, yakni kekuatan penguasaan kita pada otot,
kekuatan yang membuat kita merasakan nikmat dalam gerak, pelan ataupun
presto. Dalam tari ada kekuatan untuk tualang tanpa takut, untuk luwes,
halus atau pun gagah. Dalam tari, seperti dalam persetubuhan,
momen-momen hidup yang semakin intens datang saling merangsang.
Tapi di situ kemudian kita hanya punya dunia “rasa” dan pengalaman
estetik. Kita tidak bicara tentang pengetahuan dan kebenaran. Kita
menyambut seni dan pada saat yang sama mengogahi pemikiran. Nietzsche,
dengan sedikit berlebihan, memang pernah mengatakan bahwa “kita memiliki
seni agar kita tidak punah oleh kebenaran”, dan kita ingat pelbagai
cemoohnya kepada para filosof, yang dianggapnya seperti vampir:
menghisap darah kehidupan. Apa gerangan yang mendorong dan yang
merangsang semangat “orang-orang yang paling arif”, kalau bukan
“kehendak-untuk-kebenaran”, yang sebenarnya, seperti dikatakan oleh
Zarathustra, adalah satu ekspresi dari kehendak-untuk-kuasa juga, tapi
dengan arah yang berlainan? Kehendak itu, ujar Zarathustra, adalah
kehendak untuk membuat segala yang ada dapat dipikirkan, dapat
dikonsepkan, sehingga segala hal yang ada “menyerah dan merunduk,
menyediakan diri kepadamu”, menjadi rata-licin bagaikan cermin di mana
pikiran sang filosof dipantulkan. Untuk memperoleh cermin itu, yang
kacau, hidup, dan berubah-ubah, yang berbeda tak habis-hahisnya,
(Nietzsche berbicara khususnya tentang khaosnya data-data penginderaan),
harusnya disederhanakan dan ditata. Dengan cara itu khaos dan hidup
sebenarnya ditampik. Kehendak-untuk-kebenaran sebab itu mungkin lebih
dekat kepada ideal “asketik”. Manusia umumnya tak tahan dengan
eksistensi yang galau dan dengan sesuatu yang tak bisa dijangkau, dan
ingin menyulapnya.
Ada pemaksaan di dalam kehendak-untuk-kebenaran itu, memang. Nietzsche sendiri pernah menyimpulkan dalam Jenseits von Gut and Bose.
“…dalam semua hasrat untuk tahu, selalu ada setitik kekejaman”. Hasrat
untuk tahu akhimya mengandalkan diri pada konsep, dan setiap konsep
tumbuh dari penyamaan apa yang sebenarnya tidak sama, dari penghapusan
yang individual untuk dicetak jadi yang general, di mana pelbagai macam
daun dengan pelbagai macam harum dan pelbagai macam bentuk dan wama,
(yang masing-masing berganti tiap hari dan tiap musim), akan bisa jadi
satu, kekal, tetap, ketika diletakkan dalam konsep “daun”. Dengan
konsep, sesuatu pun dipatok, dibatasi, ditampilkan sebagai sesuatu yang
rapi dan konstan, hingga, melalui kesepakatan sosial, bisa diterima
untuk bertukar pikiran. Dengan kata lain: untuk dipertukarkan. Tapi
seperti telah disebut di atas, dengan konsep, dunia yang kita sadari,
yang masuk ke dalam kesadaran kita, pun jadi lebih kikir, lebih dangkal,
tipis, menjadi tanda praktis untuk siapa saja, orang banyak, jadi
“sinyal bagi kawanan”.
Kita tahu, bahwa proses pengabstrakan yang seperti itu pula yang
terjadi dalam hal nilai-tukar. Ada sesuatu yang sama-sama represif di
sana terhadap yang tidak-sama, yang aneka, yang kualitatif dan yang
indrawi. Argumen Adorno tentang konsep (Begriff) dan
“identitas” bahkan menyimpulkan bahwa apa yang tidak-sama dan yang aneka
serta yang kualitatif itu adalah “apa yang dalam terminologi Marxian
disebut nilai-guna”, yang kemudian praktis akan digusur—dalam arus
komodifikasi oleh sesuatu yang menjadikan itu abstrak. Kita tahu bahwa
sebenarnya kita tak bisa membandingkan bagaimana rasanya naik mobil
tamasya dengan rasa memakan daging bakar, tapi kita toh bisa membentuk
sesuatu yang sama dari keduanya: sebagaimana kita bisa mempersamakan
sesisir daun nyiur dengan selembar daun kelor di dalam sate identitas
“daun”, kita pun bisa mengabstraksikan naik mobil tamasya dan menikmati
daging bakar dalam bentuk nilai tukar. Akhirnya itu berarti harga.[9] Uang adalah bentuk lain dari “sinyal kawanan”.
Tidak mengherankan bila Zarathustra ingin agar kita enyah dari pasar.
Ia tidak hendak mempersamakan rasa memandang bintang yang menari
dengan, misalnya, rasa mencicipi buah zaitun. Ia tidak ingin berhenti
dari memanciangi bintang itu dan menelaahnya sebagai sebuah benda
astronomi yang sedikit lebih besar atau lebih kecil ketimbang benda
astronomi lain. Zarathustra bertahan: yang beda tetaplah beda. Ia
meneguhkan terus “beda yang asali” yang terbersit dari tenaga hidup yang
tidak bisa diringkus jadi tunggal. Namun akankah dengan menempuh jalan
itu kita jadi manusia merdeka? Bisakah kita merdeka hanya dengan memilih
dunia dalam pengalaman estetik, seraya kita ogahi pemikiran diskursif,
kita remehkan tuntutan praktis yang mendorong kita membangun konsep?
Bisakah kita merdeka dengan mengabaikan soal-soal yang menyangkut
kebenaran, keniscayaan berkomunikasi dan kemestian tukar menukar, di
dalam dan di luar pasar?
Memang ada yang tertekan dalam hidup kita, bersamaan dengan represi
yang terjadi dari proses abstraksi—ketika kita mengunggulkan dan
menggunakan konsep serta memasang identitas dan nilai-tukar. Ada gairah
dan rasa sayu yang hilang ketika kita meninggalkan pemandangan dahsyat
sebuah jeram dan masuk ke sebuah ruang di mana yang ada hanya kalkulasi
tenaga air yang harus dijual. Diri kita sebagai subyek dan sebagai
kesadaran memang akan jadi lebih kukuh hadir, lebih koheren, juga
kemampuan akal kita untuk menguraikan dan merancang hasil. Namun ada
yang berubah dalam hidup kita. Ada yang harus dikorbankan dalam hasrat
dan keinginan kita sendiri—mungkin nafsu, mungkin mimpi, mungkin sebuah
sajak—ketika kita ingin menguasai dunia dengan menyusunnya dalam
kategori yang definitif dan menawarkannya ke pasar yang sibuk. Adorno
menyebut kecenderungan ini sebagai sifat “irasional” kapitalisme:
manusia ingin bebas dari posisi sebagai korban dengan cara mengorbankan
diri.
Saya sendiri tak begitu pasti jalan mana yang akan bisa mengubahnya,
terutama jika, seperti dikatakan Adorno, sejarah perbedaan manusia
adalah sejarah “kontroversi pengorbanan” Jalan yang ditempuh Zarathustra
lebih jelas: meninggalkan pasar, lalu ke dalam kesendirian. Kesendirian
itu bukan sebuah isolasi. Yang diserukannya bukanlah agar kita menutup
diri dari persentuhan. Zarathustra bahkan menyebut kata “cinta”. Yang
diimbaunya adalah agar kita kembali jadi bagian yang intim di antara
hutan dan karang, seperti pohon yang bercabang lebar yang dengan tenang
dan sepenuh hati “menjulurkan dirinya ke laut”. Di sini pengalaman
estetik bertaut dengan pengalaman etik: kita menjulurkan diri ke arah
yang bukan-kita, kita menghampiri bukan untuk menguasai.
Namun sebatang pohon hutan yang soliter bisa nampak sebagai pohon
yang jauh dan angker. Ideal Zarathustra memang bukan sikap menutup diri,
tapi toh baginya ada jarak yang harus tergaris. Ia bukan seorang
demokrat; menerima dan mengagungkan perbedaan justru berarti menolak
pemerataan dan penyetaraan. Maka dengan sengit ia bicara tentang
tarantula, “pengkhotbah kesama-rataan”, laba-laba beracun yang dendam
dan dengki kepada apa pun yang punya kuasa dan keunggulan. “Keadilan
bicara kepadaku”, seru Zarathustra, “bahwa ‘Manusia tidak sama-rata’”.
Bahkan dalam keindahan pun ada pertempuran memperebutkan kuasa dan
tingkat, sebagaimana nampak pada relung dan loteng sebuah candi. Maka
berserulah Zarathustra: “Mari kita bermusuhan, kawan-kawan! Mari kita
dengan luhur saling melawan!”.
Bagi saya, seruan itu terdengar seperti suara Milton Friedman,
moneteris dari Chicago itu: pasar adalah sebuah tempat pergulatan yang
paling adil. Tapi agaknya Zarathustra akan enggan untuk memandang pasar
seperti itu. Pada Nietzsche ada kecenderungan memuja para kesatria jaman
lama, dan kerinduan kembali kepada masa yang aristokratik; ia cenderung
memandang pasar sebagai arena di mana “orang kecil” bersedia
membungkuk-bungkuk merendahkan diri:
Mereka berdesau di sekitarmu bahkan dengan suara
mereka yang memuji, dan pujian mereka adalah desakan. Mereka ingin ada
di dekat kulit dan darahmu.
Mereka menyanjungmu seakan kaulah dewa atau iblis; mereka
merengek di depanmu seperti mereka merengek di depan dewa atau iblis.
Ah, mereka hanya penyanjung dan perengek, tak lebih dari itu.
Nampak bahwa dalam pasar itu juga ada dua jenis manusia: “kau” dan
“mereka”, yang agung dan yang kecil—pantulan dari antinomi Nietzsche
yang terkenal tentang bangunan moral manusia: ada tuan/budak, ada
Ubermensch/manusia tertuntas, ada yang soliter/kawanan, dan sebagainya.
Zarathustra, kita tahu, hanya punya hati kepada mereka yang soliter,
luhur, afirmatif, seperti pohon tinggi yang menjorok dengan sepenuh hati
ke laut itu. Rasanya ia tak pernah bicara tentang mereka yang kalah
dalam pergulatan hidup, tentang rumput yang terinjak. Apa yang terjadi
pada mereka? Apa yang akan terjadi? Layak ditindas? Michel Haar, yang
menafsirkan pemikiran Nietzsche dengan murah hati, berpendapat, bahwa
antinomi Nietzsche harus dipikirkan bukan dalam hubungan dominasi. Ia
mengutip Der Wille zur Macht: “Di atas, melampaui mereka yang
mendominasi, adalah tempat di mana para manusia paling luhur hidup,
bebas dari semua ikatan…”. Dengan kata lain, dalam utopia ala Nietzsche,
ada suatu kuasa yang tak ada hubungannya dengan tahta, harta dan alat
pemerintahan yang efektif. Bahkan, dalam kata-kata Haar, siapa yang
benar-benar memerintah dan menguasai justru juga jadi bagian dari kelas
budak. Bagi sang Manusia Utama, kuasa itu adalah kuasa dari daya yang
kreatif, karena sang Ubermensch adalah manifestasi dari hidup itu
sendiri.
Tapi Haar tetap tak menyebut bagaimana dengan mereka yang kalah dalam
perang dan persaingan. Zarathustra mungkin akan memperlakukan mereka
seperti ia memperlakukan si peniti tali yang jatuh, luka parah dan
sekarat di bagian 6 dan 7 Prolog. Kepada pemain akrobat itu Zarathustra
berkata: “Kau telah membuat bahaya jadi panggilanmu; tak ada yang harus
dikecam. Kini kau sirna melalui pang¬gilan itu: maka biarlah tanganku
yang akan menguburmu.”
Dengan kata lain, mati dan kekalahan adalah bagian dari hidup.
Keduanya harus diterima. Dan hanya yang berani menempuh bahaya yang
layak dapat kehormatan, biarpun gagal. Zarathustra adalah suara tragik.
Kita akan dengan mudah menerima gambaran tentang hidup itu bila kita
tidak berada di posisi si peniti tali yang celaka. Orang ini sebenarnya
jadi seorang pemain akrobat bukan karena ia telah “membuat bahaya jadi
panggilan”. Ia tidak seheroik itu. Di pangkuan Zarathustra orang yang
menjelang ajal itu justru berkata: “Saya tak lebih hanya seekor hewan
yang diajar menari oleh pukulan dan rasa lapar”. Dan ia pun mati.
Sampai pasar usai, bahkan sampai saat sore jadi malam dan angin mulai
bertiup, Zarathustra masih berada dekat mayat itu. Ada rasa masygul di
hatinya: ternyata hidup masih tak punya makna; si peniti tali itu mati
celaka karena seorang badut tiba-tiba datang mengacau pertunjukannya di
tengah pasar. Tergerakkah Zarahustra oleh kenyataan bahwa hari itu ada
seorang yang menari sampai akhir karena didera pukulan dan rasa lapar?
Tidak, rasanya. Di depan mayat orang malang itu ia hanya memutuskan
untuk mengajari manusia makna hidup, yakni Ubermensch.
Zarathustra tak menyiasati, bahwa tarian lahir bukan selamanya karena
rasa bahagia dan ekstase, tetapi juga karena perhitungan akal yang
instrumental: bagaimana memasarkan diri dan mendapatkan hasil.
Zarathustra tak melihat bahwa si peniti tali yang miskin itu jadi bagian
dari “orang kecil” karena ia praktis tak punya pilihan lain,
Zarathustra juga tidak merenungkan bahwa di pasar itu ada orang-orang
yang ingin menikmati akrobat, dan bersedia menukarkannya dengan roti.
Tapi dengan itu yang tampil bukanlah hanya gobang, “tanda kawanan” itu.
Yang juga tampil adalah pasar sebagai sebuali heterogenitas. Manusia
datang, bermacam ragam, ramai. Tentu, masing-masing ingin memenuhi
kepentingan sendiri, tetapi pasar (dan bukan suatu konsep abstrak
tentang “pasar”) tak hanya terdiri dari lalat beracun dan aktor pembual.
Momentum pembebasan manusia bahkan bisa terjadi di sini. Seandainya Zarathustra datang ke Pasar Klewer raja, misalnya…. Pasar Klewer adalah sebuah pasar yang tak jauh dari Kraton Surakarta,
Jawa, Indonesia. Di jaman para ningrat masih menentukan nasib seorang
hamba, tenaga kerja praktis berada di luar perhitungan. Mengabdi untuk
Sunan memberikan rasa bangga, dan itu cukup, dan para priyayi
mengukuhkan serta menyebarkan keadaan itu. Uang tidak penting di sini,
juga kalkulasi rugi laba. Kita ingat bahwa dalam Wulangreh, buku sajak yang mengajar para ningrat bagaimana bersikap dalam memerintah, ada cemooh terhadap wong ati sudagar
(“orang yang berhati saudagar”), yang serba menghitung untung. Dalam
keadaan itu, yang sering terlupakan ialah bahwa bukanya nilai tukar di
sini tidak ada, melainkan diabaikan: para nayaka kraton praktis
tak mendapatkan upah untuk keringat dan waktu yang mereka berikan
kepada Raja dan para bangsawan, sementara di Pasar Klewer mereka tak
dapat memperoleh apa pun secara gratis. Hubungan yang bisa dianggap
sebagai “eksploitasi pra-kapitalis” ini akan berakhir ketika pengabdian
mereka diterjemahkan ke dalam nilai tukar, jadi upah, dan upah
itu—setidaknya secara teoritis—memberikan keleluasaan yang memungkinkan
mereka bisa ikut serta dalam percaturan jual beli yang lumrah di luar
Kraton. Proses inilah konon, di tempat lain, yang telah berhasil
melahirkan buruh yang merdeka, tenaga kerja yang tidak dikungkung dan
dihipnose dalam suatu hubungan yang tak pernah “jelas”—setidaknya
menurut standar yang lahir dari penawaran dan permintaan—yakni hubungan
antara sang pelindung (patron) dan sang pengabdi.
Memang tidak semuanya jadi manis setelah itu. Tapi ada gambaran lain:
di kancah pasar bisa ada tipu daya, persuasi, tekanan, pengisapan namun
juga dialog, proses belajar dan kesempatan kreatif. Dari tengah pasar
juga ada dorong mendorong yang bisa menggairahkan dan menciptakan
dinamika, seraya menyisihkan mereka yang rudin dan tak untung dan
memumbuhkan mereka yang menang. Pada saat yang sama, di pasar itu, di
tengah kancah komoditi itu, (di antara obat bius dan telenovela) kita
bisa juga menemukan sebentuk keramik yang cantik, atau sebuah edisi
pertama Also Sprach Zarathustra.
Jakarta, Januari-Pebruari 1996
Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Kalam, Edisi 7, 1996, hal. 110-124
————————————————
Catatan Akhir:
1. Dalam tulisan ini, judul setiap karya Nietzsche saya sebut dalam
bahasa aslinya, Jerman, meskipun saya hampir sepenuhnya menggunakan
terjemahan Inggris atas karya-karya itu.
2. Dalam The Ideology of the Aesthetic, terbitan Basil
Blackwell, 1990, hal. 234 dst. Menurut Eagleton, dengan menekankan
perlunya perhatian akan tubuh, dengan meruntuhkan keyakinan bahwa
pikiran manusia adalah otonom, dan dengan mempunyai sejenis
teleologisme, Nietzsche punya kesejajaran dengan kaum Marxis. Sebuah
pandangan yang mungkin membuat tercengang baik bagi kaum Marxis yang
umum dan para penerus Nietzsche di zaman ini.
3. Dalam The End of Ideology, terbitan Harvard University
Press, 1988, hal. 254. Buku ini pertama kali terbit di tahun 1960.
Ajektif yang dipakai Bell untuk menggambarkan sikap pasif konsumen itu
adalah uxorious.
4. Di sini saya memanfaatkan sepenuhnya pengantar dan kritik Douglas Kellner, Jean Baudrillard, From Marxism to Postmodernism and Beyond, terbitan Stanford University Press, 1989. Untuk topik ini, hal. 21-32.
5. Dihimpun dan diberi kata pengantar oleh David B. Allison, dengan
subjudul: “Contemporary Styles of Interpretation”. Diterbitkan oleh The
MIT Press. Kutipan saya dari Gilles Deleuze, Maurice Blanchot, Martin
Heidegger, Alphonso Lingis, dan Michel Hart, berasal dari antologi yang
sangat kaya ini.
6. Akan diterbitkan oleh LKIS, Yogyakarta, tahun ini (ketika naskah ini tayang di website ini, buku itu sudah terbit –ed.).
7. Kalau ada sedikit kritik untuk perumusan St. Sunardi adalah ketika
ia mengatakan bahwa “sebagai tujuan hidup diciptakan (huruf miring dari
saya, G.M.) berdasarkan potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan
yang dimiliki setiap orang”. Kata “diciptakan” mengesankan adanya suatu
usaha yang sengaja untuk mendorong manusia ke depan, sementara yang
terjadi adalah dinamika dari “kehendak untuk berkuasa”.
8. Sunardi menterjemahkan kata itu menjadi “kehendak untuk berkuasa”,
tetapi agaknya ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, bagi Nietzsche,
“kehendak” itu bukanlah sekedar hasrat atau keinginan, melainkan lebih
dekat ke pengertian “titah”—mungkin seperti dalam pengertian “kehendak
Allah” ataupun “kehendakMu jadilah”. Yang kedua ialah bahwa Macht (dalam bahasa Jerman) atau power (dalam bahasa Inggris) juga berarti daya, kekuatan, tenaga, meskipun berbeda dari Kracht,
yang lebih bersifat fisik; dengan kata lain, ia bukan hanya berarti
“kekuasaan”, khususnya dalam arti dominasi atas orang atau hal lain.
Soal ini tentu penting bila kita berbicara tentang emansipasi manusia:
jika oleh Nietzsche dikatakan, bahwa der Will zur Macht itu
adalah hidup, soalnya adakah “kehendak” itu mendorong ke arah pembebasan
ataukah sebaliknya ke arah penaklukan. Pada hemat saya, ada ambiguitas
di sini, yang menyebabkan terjemahan yang lebih kena agaknya ialah
“kehendak untuk kuasa”, seraya mengingat bahwa “kuasa” bisa berarti
“dominasi” tapi juga bisa berarti “daya”.
9. Lihat The Problems of Modernity; Adorno and Benjamin,
(editor: Andrew Benjamin), terbitan Routledge, 1992, terutama hal. 8-21
dan hal. 52-53. Juga Late Marxism, Adorno, or The Persistence of the Dialectic, oleh Fredric Jameson, terbitan Verso, 1990, hal. 23.
sumber: http://goenawanmohamad.com