Oleh: Hamdan
Mullah telah bersumpah
untuk tidak meminjamkan keledainya kepada siapa pun. Ketika sore,
seorang kawan datang ke rumahnya untuk meminjam keledainya. Mullah
berkata keledainya tak ada di rumah.
Tetapi saat itu pula keledai itu, yang diikat di belakang rumah, tiba-tiba mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini. Kalau begitu itu suara apa?" tanya si kawan.
"Aku heran padamu," kata Mullah. "Setelah empat puluh tahun bersahabat, kamu masih tidak percaya perkataanku, dan bahkan kamu lebih mempercayai suara keledai."
Di republik ini hanya ada satu hak yang wajib (bedakan dengan boleh) bagi warga negara untuk mendapatkannya. Sementara hak-hak lainnya masih saja terus dirampas, baik separuh-separuh atau sepenuhnya, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hak yang wajib (dipaksakan) itu adalah hak suara. Dan tentunya hak tersebut hanya diberikan pada saat PEMILU, yang disuguhkan dengan sentuhan kata indah; wajib pilih.
Hak suara dan wajib pilih adalah dua hal yang cukup membingungkan. Hak yang baru saja didapatkan atau diterima, dengan segera harus (wajib) diberikan kembali kepada orang yang memberi. Demikianlah keterkaitan hak suara dengan wajib pilih, bumbu demokrasi yang sangat segar dan menggairahkan.
Karena itu setidaknya ada dua suara yang kita kenal yakni, pertama; suara yang dikeluarkan dengan bunyi tertentu, dan itu berarti tak terhitung (uncountable voices). Dan kedua; suara yang dikeluarkan tanpa bunyi tetapi dengan tanda tertentu, yang dengan sendirinya dapat terhitung (countable voices); suara dikeluarkan tanpa bunyi melainkan dengan bocoran kertas bergambar yang tepat. Sebab bocoran yang salah akan dianggap sebagai bukan suara (batal). Dengan suara kedua (countable voices) inilah republik Indonesia setiap lima tahun menentukan presidennya sebagai pemerintah eksekutif, sejumlah anggota legislatif, dan seterusnya, agar republik ini dapat berjalan dengan baik.
Pemilu tiba-tiba menjadi sebuah arena yang menyulap suara rakyat dari uncountable voices menjadi countable voices. Mengapa harus disulap? Karena negeri kita memang menyukai hal-hal yang indah pada permukaannya walaupun seluruh isi dalamnya palsu dengan mutu terendah. Dan memang demokrasi tidak kualitatif tetapi kuantitatif, berjuta-juta suara tanpa bunyi bahkan tanpa kata. Hak suara menjadi wajib disampaikan dengan alasan bahwa pemilu merupakan tahap yang paling penting dan menentukan bagi kehidupan bernegara. Dan ternyata memang dalam pemilu, suara tidak untuk di dengar tetapi untuk dihitung, makanya tak perlu berbunyi. Konsekwensinya, pasca pemilu hak suara menjadi masa lalu yang di kenang sebagai nostalgia politik bagi rakyat.
Dalam pemilu ada juga suara yang berbunyi dan tetap uncountable, yakni suara keras yang disampaikan melalui media tertentu yang mampu menembus seluruh pelosok negeri. Suara itu adalah bujuk rayu yang secara alami pasti berisi janji. Untuk dapat bersuara seperti ini diperlukan sumber daya yang, cukup dengan menguasai politik bujuk rayu dan bujuk rayu politik. Disamping itu tentunya harus memenuhi mekanisme bujuk rayu dimana seluruh kewenangan tentang bujuk rayu dan tujuannya berada di tangan partai.
Baik suara maupun calon yang akan dipilih (disuarai) semuanya harus melaui partai. Pembujuk (calon) dan sasaran bujuk (rakyat) dikelolah oleh partai. Rakyat yang memiliki suara tidak pernah dirumuskan sebagai anggota oleh partai, karenanya lebih sering disebut sebagai massa. Dengan sendirinya partai tak pernah perlu bertanggung jawab kepada rakyat setelah bujuk rayunya berhasil menghipnotis mereka. Sementara di lain sisi, rakyat tak pernah memilih calonnya secara langsung, karena sebelumnya, partai lebih dulu memilih dan menentukan calon yang boleh dipilih oleh rakyat. Maka sesungguhnya negara kita bukan negara demokrasi tetapi lebih tepat disebut partikrasi; dari partai-oleh partai-dan untuk partai.
Hak suara yang dimiliki rakyat akhirnya menjadi suara keledai yang diikat Mullah di halaman belakang rumahnya. Ril sebagai suara rakyat tetapi tidak perlu terdengar sebagai suara rakyat, melainkan sebagai suara partai. Ia dapat bersuara tetapi dari halaman belakang yang tak harus dipercaya. Dan partai sebagai intitusi nepotisme gaya baru, dapat berjalan merumuskan kebijakannya sendiri-sendiri mengendarai negri ini, tanpa harus menimbang suara keledai.
Makassar, 14 April 2004.
Tetapi saat itu pula keledai itu, yang diikat di belakang rumah, tiba-tiba mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini. Kalau begitu itu suara apa?" tanya si kawan.
"Aku heran padamu," kata Mullah. "Setelah empat puluh tahun bersahabat, kamu masih tidak percaya perkataanku, dan bahkan kamu lebih mempercayai suara keledai."
Di republik ini hanya ada satu hak yang wajib (bedakan dengan boleh) bagi warga negara untuk mendapatkannya. Sementara hak-hak lainnya masih saja terus dirampas, baik separuh-separuh atau sepenuhnya, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hak yang wajib (dipaksakan) itu adalah hak suara. Dan tentunya hak tersebut hanya diberikan pada saat PEMILU, yang disuguhkan dengan sentuhan kata indah; wajib pilih.
Hak suara dan wajib pilih adalah dua hal yang cukup membingungkan. Hak yang baru saja didapatkan atau diterima, dengan segera harus (wajib) diberikan kembali kepada orang yang memberi. Demikianlah keterkaitan hak suara dengan wajib pilih, bumbu demokrasi yang sangat segar dan menggairahkan.
Karena itu setidaknya ada dua suara yang kita kenal yakni, pertama; suara yang dikeluarkan dengan bunyi tertentu, dan itu berarti tak terhitung (uncountable voices). Dan kedua; suara yang dikeluarkan tanpa bunyi tetapi dengan tanda tertentu, yang dengan sendirinya dapat terhitung (countable voices); suara dikeluarkan tanpa bunyi melainkan dengan bocoran kertas bergambar yang tepat. Sebab bocoran yang salah akan dianggap sebagai bukan suara (batal). Dengan suara kedua (countable voices) inilah republik Indonesia setiap lima tahun menentukan presidennya sebagai pemerintah eksekutif, sejumlah anggota legislatif, dan seterusnya, agar republik ini dapat berjalan dengan baik.
Pemilu tiba-tiba menjadi sebuah arena yang menyulap suara rakyat dari uncountable voices menjadi countable voices. Mengapa harus disulap? Karena negeri kita memang menyukai hal-hal yang indah pada permukaannya walaupun seluruh isi dalamnya palsu dengan mutu terendah. Dan memang demokrasi tidak kualitatif tetapi kuantitatif, berjuta-juta suara tanpa bunyi bahkan tanpa kata. Hak suara menjadi wajib disampaikan dengan alasan bahwa pemilu merupakan tahap yang paling penting dan menentukan bagi kehidupan bernegara. Dan ternyata memang dalam pemilu, suara tidak untuk di dengar tetapi untuk dihitung, makanya tak perlu berbunyi. Konsekwensinya, pasca pemilu hak suara menjadi masa lalu yang di kenang sebagai nostalgia politik bagi rakyat.
Dalam pemilu ada juga suara yang berbunyi dan tetap uncountable, yakni suara keras yang disampaikan melalui media tertentu yang mampu menembus seluruh pelosok negeri. Suara itu adalah bujuk rayu yang secara alami pasti berisi janji. Untuk dapat bersuara seperti ini diperlukan sumber daya yang, cukup dengan menguasai politik bujuk rayu dan bujuk rayu politik. Disamping itu tentunya harus memenuhi mekanisme bujuk rayu dimana seluruh kewenangan tentang bujuk rayu dan tujuannya berada di tangan partai.
Baik suara maupun calon yang akan dipilih (disuarai) semuanya harus melaui partai. Pembujuk (calon) dan sasaran bujuk (rakyat) dikelolah oleh partai. Rakyat yang memiliki suara tidak pernah dirumuskan sebagai anggota oleh partai, karenanya lebih sering disebut sebagai massa. Dengan sendirinya partai tak pernah perlu bertanggung jawab kepada rakyat setelah bujuk rayunya berhasil menghipnotis mereka. Sementara di lain sisi, rakyat tak pernah memilih calonnya secara langsung, karena sebelumnya, partai lebih dulu memilih dan menentukan calon yang boleh dipilih oleh rakyat. Maka sesungguhnya negara kita bukan negara demokrasi tetapi lebih tepat disebut partikrasi; dari partai-oleh partai-dan untuk partai.
Hak suara yang dimiliki rakyat akhirnya menjadi suara keledai yang diikat Mullah di halaman belakang rumahnya. Ril sebagai suara rakyat tetapi tidak perlu terdengar sebagai suara rakyat, melainkan sebagai suara partai. Ia dapat bersuara tetapi dari halaman belakang yang tak harus dipercaya. Dan partai sebagai intitusi nepotisme gaya baru, dapat berjalan merumuskan kebijakannya sendiri-sendiri mengendarai negri ini, tanpa harus menimbang suara keledai.
Makassar, 14 April 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar